Terkadang, sebagai manusia, kita tak luput dari melakukan kesalahan dan tindakan yang kurang baik, termasuk para wanita. Artikel ini akan mengulas beberapa kesalahan dan dosa wanita yang sering di lakukan.
Tulisan ini, sebagai upaya nasehat dan juga peringatan untuk seluruh saudariku kaum wanita Muslimah, tentang kewajiban penting bagi mereka, yang sering diremehkan, atau dilupakan, atau sengaja ditinggalkan !
Yuk, mari kita eksplor lebih jauh mengenai topik ini.
Beberapa kesalahan dan dosa wanita yang sering di lakukan;
Tidak mau menggunakan jilbab sesuai syariat
Padahal Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (٥٩)
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-orang mukmin : “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Alloh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Ahzab : 59)
Para ulama menjelaskan, bahwa Jilbab itu adalah : “sejenis baju kurung yang lapang, yang dapat menutup kepala, muka dan dada seorang wanita.”
Alloh ta’ala juga berfirman :
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٣١)
“Katakanlah kepada wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan (di kakinya tersebut). Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Alloh wahai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” (QS An-Nuur : 31)
Dalil lainnya yang menunjukkan wajibnya jilbab adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ ، فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ ، وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلاَّهُنَّ . قَالَتِ امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ . قَالَ « لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا »
Dari Ummu ‘Athiyyah, dia berkata :
“Pada dua hari raya, kami (para wanita) diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita yang sedang haid dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin (yakni sholat Ied) dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita yang sedang haid harus menjauhi tempat sholat mereka (tidak boleh sholat).
Seorang wanita bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab, (bolehkan dia keluar)?”
Beliau menjawab : “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.” (HR. Al-Bukhori no. 351 dan Muslim no. 890).
Para ulama sepakat (ber-ijma’), bahwa Berjilbab itu hukumnya adalah WAJIB !
Tetapi yang mereka perselisihkan adalah dalam masalah wajah dan kedua telapak tangan, apakah hal itu wajib ditutupi ataukah tidak (tetapi masalah ini tidak kita bahas secara luas di sini, insya Alloh pada kesempatan lainnya).
Jadi, dalil-dalil tersebut di atas menunjukkan kepada kita :
-
Wajibnya bagi para wanita untuk menutup seluruh auratnya dengan berjilbab.
Dan para ulama telah sepakat tentang wajibnya hal ini.
Sehingga, tidak perlu ditoleh dan tidak perlu dianggap pendapat siapapun orang yang nyleneh dan menyelisihi ijma’ (kesepakatan) para ulama dalam masalah ini.
-
Yang diperintahkan untuk berjilbab, tidak hanya para istri Nabi Muhammad shollallohu alaihi wa sallam saja, tetapi juga untuk seluruh para wanita Muslimah !
-
Yang memerintahkan para wanita untuk berjilbab itu adalah Robb seluruh alam semesta, yaitu Alloh subhanahu wa ta’ala !
Dan Alloh lebih mengetahui, apa yang bisa memberikan kemaslahatan (kebaikan) bagi para wanita.
Karena itu, tidak sepantasnya bagi seorang wanita untuk menolak atau mengingkari perintah Alloh ta’ala tersebut !
-
Bahwa seorang wanita yang telah berjilbab dan berbusana Muslimah dengan baik dan benar, berarti dia telah mentaati perintah Alloh ta’ala.
Sedangkan wanita yang enggan berjilbab, sungguh berarti dia telah berbuat maksiat (durhaka) terhadap perintah Alloh ta’ala !
Dan ini termasuk salah satu dari perbuatan dosa yang sangat besar !
Alloh ta’ala berfirman :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا (٣٦)
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Alloh dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.
Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. maka sungguhlah dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (QS Al-Ahzab : 36)
-
Bahwa berjilbab itu adalah ciri wanita Muslimah yang taat kepada perintah Alloh ta’ala, yang bisa membedakan diri mereka dengan para wanita yang kafir, atau para wanita yang fasik (banyak berbuat dosa dan maksiat) !
Karena itu, sepantasnyalah para wanita Muslimah istiqomah melaksanakan perintah Alloh ta’ala tersebut, dengan selalu berjilbab, khususnya ketika dia keluar dari rumahnya !
Tidak mau menaati suaminya dalam perkara kebaikan
Sekali lagi kami sampaikan, bahwa tulisan berikut ini adalah upaya yang bisa kami lakukan, untuk selalu berupaya menasehati para wanita Muslimah kita, agar mereka semua dalam kebaikan.
Tetapi sayang sekali, banyak diantara mereka, yang terjatuh dalam perkara dosa dan kesalahan, tetapi mereka banyak yang tidak menyadarinya.
Diantaranya adalah seperti tema pembahasan kita kali ini, yakni termasuk dosa yang banyak dilakukan oleh para wanita adalah tidak mau mentaati suaminya dalam perkara kebaikan !
Padahal, Nabi Muhammad shollallohu alaihi wa sallam pernah bersabda :
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Jika seorang wanita selalu menjaga sholat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina), dan benar-benar taat pada suaminya, maka akan dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini : “Masuklah kamu ke dalam surga melalui pintu mana saja yang kamu suka.”
(HR. Ahmad (1/191) dan Ibnu Hibban (9/471), dari Abdurrahman bin Auf rodhiyallohu anhu, dan hadits ini dinyatakan shohih, oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth rohimahulloh)
Dalam hadits yang lainnya, dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata :
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ ؟ قَالَ : الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
“Pernah ditanyakan kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam : “Siapakah wanita yang paling baik itu ?”
Beliau menjawab : “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, yang mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya, dengan apa yang membuat suaminya benci.” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad (2/251). Hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh Al Albani rohimahulloh)
Dalam hadits lainnya, dari Ummu Salamah rodhiyallohu ‘anha, dia berkata bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
“Wanita mana saja yang meninggal dunia lantas suaminya ridha padanya, maka ia akan masuk surga.” (HR. At-Tirmidzi no. 1161 dan Ibnu Majah no. 1854. At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Makna hadits tersebut di atas adalah : “jika seorang wanita yang beriman itu meninggal dunia, dalam keadaan selama hidupnya itu dia benar-benar memperhatikan kewajiban terhadap suaminya, sampai suami tersebut ridha kepadanya, maka ia dijamin akan masuk surga.
Atau bisa juga makna hadits tersebut adalah adanya pengampunan dosa, atau Alloh akan meridhoinya.”
(Lihat : Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhus Sholihin (hal. 149), karya Prof. Dr. Musthofa Al Bugho).
Dari dalil-dalil tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
-
Wajibnya bagi seorang wanita (istri), untuk mentaati suaminya, khususnya dalam perkara kebaikan yang dibolehkan oleh syari’at agama ini, bukan dalam perkara kemaksiatan dan dosa.
Ya, karena dalam hadits yang lainnya, Rosululloh shollallohu ’alaihi wa sallam pernah bersabda :
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan di dalam perkara maksiat (kedurhakaan/dosa). Sesungguhnya taat itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (baik).” (HR Al-Bukhari, no. 7257 dan Muslim, no. 1840).
Dan yang dimaksud dengan perkara yang ma’ruf (yang baik) itu, didefinisikan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rohimahulloh sebagai berikut :
المعروف : الإحسان والطاعة، وكل ما عرف في الشرع والعقل حسنه
“Al-Ma’ruf artinya perbuatan kebaikan dan perbuatan ketaatan, dan semua yang diketahui baiknya oleh syariat dan oleh akal sehat.”
( Tafsir As Sa’di, 1/194-196).
Dalam sebuah hadits dari ‘Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu ’anhu, beliau berkata :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ جَيْشًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ رَجُلًا فَأَوْقَدَ نَارًا وَقَالَ ادْخُلُوهَا فَأَرَادُوا أَنْ يَدْخُلُوهَا وَقَالَ آخَرُونَ إِنَّمَا فَرَرْنَا مِنْهَا فَذَكَرُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِلَّذِينَ أَرَادُوا أَنْ يَدْخُلُوهَا لَوْ دَخَلُوهَا لَمْ يَزَالُوا فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَقَالَ لِلْآخَرِينَ لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam mengutus satu pasukan dan mengangkat seorang laki-laki sebagai panglima mereka.
Kemudian panglima itu menyalakan api dan berkata (kepada pasukannya): “Masuklah kamu ke dalam api !”
Sebagian pasukan berkehendak memasukinya, orang-orang yang lain mengatakan : ”Sesungguhnya kita lari dari api (neraka).”
Kemudian mereka menceritakan hal itu kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda kepada orang-orang yang berkehendak memasukinya : “Jika mereka memasuki api itu, mereka akan terus di dalam api itu sampai hari kiamat.”
Dan beliau bersabda kepada yang lain :
”Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf.” (HR Al-Bukhari, no. 7257, Muslim, no. 1840).
Dalam hadits yang lainnya, Rosululloh shollallohu ’alaihi wa sallam juga pernah bersabda :
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Mendengar dan ta’at (kepada penguasa/pemerintah) itu memang benar, selama mereka (kaum muslimin) tidak diperintahkan kepada perkara maksiat. Jika mereka diperintah untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan ta’at (dalam perkara maksiat tersebut).” (HR. Al-Bukhari no.2955).
Rosululloh shollallohu ’alaihi wa sallam juga bersabda :
السمعُ والطاعةُ على المرءِ المسلمِ فيما أحبَّ وكرهَ ، ما لم يُؤمَرُ بمعصيةٍ ، فإذا أُمِرَ بمعصيةٍ فلا سمع ولا طاعةَ
“Wajib mendengar dan ta’at (kepada penguasa) bagi setiap Muslim, dalam perkara yang dia senangi ataupun yang dia benci (dari pemimpinnya), selama dia tidak diperintah dalam perkara kemaksiatan. Jika dia diperintah untuk bermaksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh ta’at (terhadap pemimpinnya tersebut) !” (HR. Al-Bukhori* no. 2955, 7144).
-
Wanita (istri) yang mentaati suaminya itu, akan dijamin masuk ke dalam surga !
Sebaliknya, wanita yang tidak mentaati suaminya, tidak akan mendapatkan jaminan masuk surga !
-
Wanita (istri) yang mentaati suami itu adalah akan mendapatkan predikat/gelar sebagai wanita yang paling baik !
Sebaliknya, yang tidak mentaati suaminya adalah akan mendapatkan gelar sebagai wanita yang terjelek (yakni, yang terjelek akhlak dan agamanya, biarpun mungkin cantik paras wajahnya)
-
Sudah selayaknya bagi para wanita (istri), agar menjadi wanita (istri) yang taat pada suaminya, sesuai dengan kemampuannya.
Karena sikap seperti inilah, yang kelak akan menentukan tempatnya di akhirat nanti, di surga atau di neraka !
Dalam sebuah hadits, dari Al-Hushoin bin Mihshon rodhiyallohu anhu, dia menceritakan, bahwa bibinya dulu pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk suatu keperluan.
Setelah selesai dari keperluannya tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya :
أذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah kamu sudah bersuami?” Dia (bibinya Al-Hushain) menjawab : “Sudah.” Rosululloh bertanya lagi : “Bagaimana (sikap) mu terhadapnya (suamimu) ?”
Ia menjawab : “Aku tidak pernah mengurangi haknya, kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Lihatlah/perhatikanlah di mana keberadaanmu (dalam pergaulanmu) dengan suamimu, karena suamimu itu adalah surga dan neraka bagimu !”
(HR. Ahmad (4/341) dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al-Albani dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib no. 1933)
Tidak mau membantu suaminya dalam ketaatan kepada Allah, bahkan mendorong dan mempengaruhinya untuk berbuat kejelekan
Diantara tugas utama seorang suami itu adalah harus mengajari keluarganya ( yakni isteri dan anak-anaknya, serta orang-orang yang ada di bawah tanggungjawabnya) tentang perkara-perkara penting dalam masalah agama, atau memberinya izin untuk menghadiri majelis-majelis ta’lim.
Karena sesungguhnya kebutuhan mereka (keluarganya) untuk memperbaiki agama dan mensucikan jiwa mereka itu tidaklah lebih kecil dari kebutuhan makan dan minum, yang juga harus diberikan kepadanya.
Dalam hal ini, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya itu adalah manusia dan bebatuan.”
Ketahuilah, menjaga diri dan keluarga dari api Neraka itu, bentuknya adalah dengan iman dan amal shalih, sedangkan amal shalih itu harus didasari dengan ilmu syar’i, supaya mereka semua dapat menjalankannya, sesuai dengan syari’at yang telah ditentukan tersebut.
Disamping itu, seorang suami harus memerintahkan isterinya dan anggota keluarga yang lainnya untuk mendirikan/melaksanakan agamanya serta menjaga shalat-nya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu agar mendirikan sholat, dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.”
Mengingat beratnya tugas seorang suami seperti tersebut di atas, maka sepantasnya bagi seorang wanita/istri untuk membantu suaminya menegakkan kewajiban seperti tersebut di atas !
Seperti yang juga pernah dijelaskan oleh Nabi shollallohu alaihi wa sallam dalam sebuah hadits berikut ini :
وعن أَبي هريرة – رضي الله عنه – ، قَالَ : قَالَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – : (( رَحِمَ اللهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ ، فَصَلَّى وَأيْقَظَ امْرَأَتَهُ ، فَإنْ أبَتْ نَضَحَ في وَجْهِهَا المَاءَ ، رَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ ، فَصَلَّتْ وَأيْقَظَتْ زَوْجَهَا ، فَإن أبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ المَاءَ )) رواه أَبُو داود بإسناد صحيح
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Semoga Allah merahmati seorang laki-laki (suami) yang bangun pada malam hari, lalu dia shalat dan membangunkan istrinya. Jika istrinya enggan, maka dia (suaminya tersebut) memercikkan air pada wajah istrinyanya (agar bangun).
Dan semoga Allah juga merahmati seorang wanita (istri) yang bangun pada malam hari, lalu dia shalat dan membangunkan suaminya. Jika suaminya enggan, maka dia (istrinya itu) memercikkan air pada wajah suaminya (agar bangun).”
.
Pelajaran dari hadits ini :
Bahwa hadits yang mulia ini adalah salah satu dalil yang menunjukkan : hendaknya kita saling tolong menolong dalam melakukan kebaikan dan ketakwaan, terutama sepasang suami dan istri !
Bukan tolong menolong, dalam perkara dosa dan kemaksiatan !
-
Juga menunjukkan, disunnahkan untuk mendirikan shalat malam (sholat tahajjud), baik untuk laki-laki maupun wanita.
-
Bahwa bila seorang suami membangunkan istrinya untuk shalat malam dan juga sebaliknya istri membangunkan suaminya untuk sholat malam, hal itu bukanlah suatu dosa, bahkan ini adalah suatu perbuatan yang berpahala.
-
Juga menunjukkan, hendaknya seorang suami dan istri itu saling mengajak dan mendorong kepada amal-amal kebaikan, yang diridhoi oleh Alloh ta’ala.
Dan hendaknya seorang suami itu bisa menjadi contoh teladan yang baik bagi istrinya, demikian pula sebaliknya.
Bukan malah menjadi teladan dalam keburukan dan kejelekan yang dimurkai oleh Alloh ta’ala !
-
Suami istri itu keberadaannya adalah seperti teman/sahabat dekat yang saling memberikan pengaruh, baik pengaruh kepada kebaikan ataupun kejelekan.
Karena itu, sepantasnyalah seorang istri itu bisa menjadi teman terbaik bagi suaminya, bukan menjadi teman yang buruk, yang hanya mempengaruhi dan mendorong suaminya dalam perkara kejelakan, dan perkara yang dimurkai oleh Alloh.
Maka termasuk dosa dan kesalahan yang sangat besar, bila seorang wanita atau istri itu justru menjadi orang yang tidak membantu suaminya dalam melakukan ketaatan kepada Alloh, bahkan menjadi pendorong bagi suaminya untuk berbuat kejelekan.
-
-
Tidak mau berhias dan berpenampilan yang baik di hadapan suaminya, tapi suka berdandan bila keluar rumah
Inilah masalah yang juga banyak dilakukan oleh para wanita (istri), padahal ini adalah suatu dosa yang sangat besar, yang sepantasnya dijauhi oleh para wanita (istri khususnya).
Padahal, Alloh Ta’ala berfirman :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.”
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda :
خَيْرُ النِّسَاءِ مَنْ تَسُرُّكَ إِذَا أَبْصَرْتَ، وَتُطِيْعُكَ إِذَا أَمَرْتَ، وَتَحْفَظُ غَيْبَتَكَ فِيْ نَفْسِهَا وَمَالِكَ
“Sebaik-baik wanita (isteri) itu adalah yang menyenangkan kamu (suami) jika kamu melihatnya, dan yang taat kepadamu jika kamu menyuruhnya, serta menjaga dirinya dan hartamu, di saat kamu pergi (tidak ada di rumah).” (HR Ath-Thobroni, dari ‘Abdullah bin Salam rodhiyalohu anhu, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani rohimahulloh dalam Shohih Al-Jaami’ no. 3299).
Dalil tersebut di atas menunjukkan :
-
Bahwa Alloh ta’ala menjadikan istri itu sebagai pasangan bagi suaminya, yang diharapkan bisa membahagiakan dan memberikan ketenangan bagi suaminya.
-
Berpenampilan menarik untuk suaminya
Dan diantara perkara yang membahagiakan seorang suami itu adalah jika suaminya melihat kepada istrinya, maka istrinya itu pandai berhias untuk suaminya, dengan : mempercantik diri di hadapan suaminya, berusaha selalu tersenyum dan tidak bermuka masam di hadapan suaminya, selalu menjaga kebersihan dirinya, bersikap lemah lembut terhadap suaminya, dan sebagainya, yang mana hal itu semua akan membantu langgengnya rasa cinta, kasih dan sayang pada keduanya.
Hal itu juga menunjukkan bolehnya bagi seorang wanita (istri) berhias dan berpenampilan cantik di depan suaminya, selama dalam batas-batas yang dibolehkan syari’at.
Tetapi apabila berhias itu sampai melanggar syari’at agama, meski dengan tujuan menyenangkan hati suami, yang seperti ini tetap tidak boleh, seperti : mencukur alis, menyambung rambutnya dengan rambut palsu (memakai rambut palsu), mentato tubuhnya, dan sebagainya.
Dalil yang menunjukkan hal itu (larangan mencukur alis dan bertato) adalah sebagai berikut :
لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالنَّامِصَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ
“Alloh melaknat seorang wanita yang mentato dan yang minta ditato. Alloh juga melaknat orang wanita yang mencabut rambut yang tumbuh di wajahnya (termasuk padanya adalah bulu alis yang ada di atas mata), dan yang meminta dicabut.” (HR. Muslim no. 2125)
Al-Imam An-Nawawi rohimahulloh ketika menerangkan makna An-Namsh, beliau mengatakan : “An-Naamishoh adalah orang yang menghilangkan rambut pada wajah, sedangkan Al-Mutanammishoh adalah orang yang meminta dicabutkan.
Perbuatan namsh itu haram, kecuali jika pada seorang wanita terdapat jenggot atau kumis, maka tidak mengapa untuk dihilangkan, bahkan menurut kami hal itu disunnahkan (untuk menghilangkannya).” ( Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/106)
Dalil yang menunjukkan larangan menyambung rambut dengan dengan rambut orang lain atau rambut palsu, adalah sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam :
لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ
“Alloh melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan yang minta disambung (dengan rambut lain/palsu), dan wanita yang membuat tato dan yang minta dibuatkan tato.“
.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
زَجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَصِلَ الْمَرْأَةُ بِرَأْسِهَا شَيْئًا
“Rosululloh melarang wanita menyambung rambutnya dengan sesuatu.“ .
Dalam hadits yang lainnya, Nabi shollallohu alaihi wa sallam juga mengabarkan, bahwa wanita yang menghiasi rambutnya dengan sesuatu (yang palsu), akan diancam tidak akan dimasukkan ke dalam surga.
Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Dua golongan dari ahli neraka yang tidak pernah aku lihat : seorang yang membawa cemeti (cambuk) seperti ekor sapi yang dia gunakan memukul orang-orang, dan perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, dia berjalan berlenggok-lenggok, kepalanya bagaikan punuk onta yang bergoyang. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan baunya, sekalipun ia bisa didapatkan sejak perjalanan sekian dan sekian.“ .
Al-Imam An-Nawawi rohimahulloh menukil perkataan Imam Al-Qurthubi yang menjelaskan hadits tersebut di atas : “Rambut mereka diumpamakan seperti punuk onta, karena mereka mengangkat sanggul rambutnya ke bagian tengah kepalanya untuk menghias dirinya, dan ia berpura-pura melakukan itu agar dianggap memiliki rambut yang lebat (panjang).” ( Fathul Baari, 10/375).
Intinya, menyambung rambut adalah perbuatan yang terlarang (haram) bagi wanita (istri), diantara sebabnya adalah karena dalam perbuatan tersebut terdapat unsur penipuan terhadap suaminya, wallohu a’lamu bis showab !
-
Bahwa wanita (istri) yang tidak mau berhias untuk suaminya, bahkan justru dia berhias untuk orang lain, termasuk perbuatan yang tercela dan termasuk perbuatan dosa.
Apalagi jika dia keluar dari rumahnya, selain berhias dia juga memakai minyak wangi yang baunya menyengat dan bisa memfitnah/menggoda kaum laki-laki, hal ini termasuk dosa yang besar !
Disebutkan dalam sebuah hadits dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu’anhu, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
أيُّما امرأةٍ استعطرتْ ثُمَّ خَرَجَتْ ، فمرَّتْ علَى قومٍ ليجِدُوا ريَحها فهِيَ زانيةٌ ، وكُلُّ عينٍ زانيةٌ
“Wanita mana saja yang memakai wewangian, lalu ia keluar dan melewati para lelaki sehingga tercium sebagian dari wanginya tersebut, maka dia adalah seorang pezina. Dan setiap mata yang melihatnya juga pezina.” (HR. Abu Daud no. 4173, At-Tirmidzi no.2786, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani rohimahulloh dalam Shohih Al-Jami’ no. 2701).
Para ulama menjelaskan, perkataan فهِيَ زانيةٌ ( “maka ia adalah seorang pezina”), maksudnya adalah : dia itu menyebabkan terjadinya zina, baik zina mata maupun zina yang sebenarnya.
Sedangkan perkataan وكُلُّ عينٍ زانيةٌ ( “setiap mata yang melihatnya juga pezina”), maksudnya adalah zina mata. ( Syarah Hadits Mausu’ah Durarus Saniyyah, no.6155).
Hadits ini menunjukkan haramnya wanita memakai parfum (minyak wangi), sehingga tercium wanginya oleh lelaki yang bukan mahromnya ?.
Digunakannya lafadz فهِيَ زانيةٌ (“maka dia adalah seorang pezina)”, menunjukkan bahwa perbuatan ini sangat tercela dan merupakan kerusakan yang besar.
Demikian juga yang dipahami oleh para sahabat Nabi. Dari Yahya bin Ju’dah, ia mengatakan :
أن عمر بن الخطاب خرجت امرأة في عهده متطيبة , فوجد ريحها فعلاها بالدرة , ثم قال : تخرجن متطيبات فيجد الرجال ريحكن , وإنما قلوب الرجال عند أنوفهم , اخرجن تفلات
“Ada seorang wanita keluar rumah dengan memakai wewangian di masa khalifah Umar bin Khathab. Lalu wanginya tersebut tercium oleh Umar bin Khathab.
Maka Umar pun memukulnya dengan tongkat. Umar berkata : kalian keluar rumah menggunakan wewangian sehingga para lelaki bisa menciumnya ? Sesungguhnya hati para lelaki terfitnah dengan wangi kalian. Keluarlah dalam keadaan tanpa berdandan dan tanpa wewangian.” (HR. Abdurrozzaq dalam Al Mushannaf, 4/370).
Maka tidak boleh bagi wanita keluar rumah dengan memakai wewangian dalam bentuk apapun, sehingga membuat lelaki bisa tertarik dan tergoda.
Baik dia sudah bersuami ataupun yang belum, baik dia berjilbab ataupun yang tidak berjilbab, baik dia sudah tua ataupun yang masih muda.
Lalu, apa parfum yang dibolehkan bagi wanita ?
Seorang wanita (istri) boleh menggunakan parfum sekedar untuk menghilangkan bau badannya, selama tidak sampai menimbulkan wangi yang semerbak, hingga tercium oleh orang lain.
Disebutkan dalam sebuah hadits yang shohih, dari Anas bin Malik rodhiallohu ’anhu, Nabi shollallohu ’alaihi wa sallam bersabda :
أتى النَّبيَّ – صلَّى اللَّه عليهِ وعلَى آلِهِ وسلَّمَ – قومٌ يبايعونَهُ وفيهم رجلٌ من يدِهِ أثرُ خَلوقٍ فلَم يزل يبايعُهُم ويؤخِّرُهُ ، ثمَّ قالَ : إنَّ طيبَ الرِّجالِ ما ظَهَرَ ريحُهُ وخفِيَ لونُهُ وطيبُ النِّساءِ ما ظَهَرَ لونُهُ وخفيَ ريحُهُ
“Sekelompok orang datang kepada Nabi shollallohu ’alaihi wa sallam untuk berbai’at. Namun di antara mereka ada seorang lelaki yang di tangannya ada bercak warna minyak wangi.
Maka Nabi pun tidak segera membai’atnya dan mengakhirkannya. Beliau bersabda: “Parfum laki-laki itu adalah yang tercium wanginya, namun tidak nampak warnanya. Sedangkan parfum untuk wanita itu adalah yang nampak warnanya, namun tidak tercium wanginya.”
(HR. Al-Bazzar no. 6486, dishahihkan oleh Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rohimahulloh dalam Ash-Shahih Al-Musnad no. 102).
Syaikh Abdullah bin Jibrin rohimahulloh menjelaskan :
للمرأة أن تتطيب في غير بيتها بما ظهر لونه وخفي ريحه كالورد والياسمين
“Boleh bagi wanita untuk menggunakan parfum di luar rumahnya, dengan parfum yang nampak warnanya namun samar wanginya, seperti warad dan yasmin.” ( Syarah Syifa’ul Alil, 6/48).
Dan seorang wanita juga boleh menggunakan parfum di rumahnya, di depan suami dan juga para mahramnya, selama tidak menimbulkan fitnah.
Bahkan menggunakan parfum di depan suami termasuk perkara yang dianjurkan dalam syariat. Karena itu adalah perkara yang membuat suami senang.
Dan salah satu ciri wanita shalihah, disebutkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam :
خيرُ نسائِكم من إذا نظر إليها زوجُها سرَّتْه
“Sebaik-baik istri kalian adalah jika jika suaminya memandangnya, si istri membuat suaminya senang.” (HR. Ibnu Majah no.1857. Dishahihkan oleh Al-Iraqi rohimahulloh dalam Takhrij Al-Ihya’, 2/51).
Baca Juga : Ciri – Ciri Wanita Salehah
Kesimpulan :
Dari uraian di atas, khususnya tentang masalah hukum memakai minyak wangi bagi wanita, kesimpulannya adalah, bahwa bagi para wanita boleh memakai parfum jika :
- Hanya di dalam rumah, dan tidak ada orang lelaki non mahram (yang bukan mahromnya).
- Di luar rumah, namun hanya melewati pada wanita.
- Di luar rumah, namun tidak wangi yang semerbak, hanya untuk menghilangkan bau badannya saja.
Dan tidak boleh memakai parfum jika :
- Di luar rumah, dan melewati para lelaki non mahram.
- Di dalam rumah, namun ada lelaki non mahrom.
Wallohu a’lamu bis showab
Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk kita semuanya, terutama semoga bisa menjadi nasehat yang sangat bermanfaat bagi para wanita/istri.
Nas-alulloha At-Taufiq wal Istiqomah
Sumber : Abu Abdirrohman Yoyok